Polemik seputar honorer yang mengemuka belakangan ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun silam. Saat masih baru lulus kuliah dan sedang cari-cari kerja, salah satu kerabat menawari saya untuk menjadi honorer. "Sabar saja dulu, nanti juga pelan-pelan jadi PNS," begitu katanya.
Namun saat bertanya seputar penghasilan honorer saat itu, saya kaget karena kisarannya hanya ratusan ribu rupiah. Mana cukup uang segitu untuk hidup, meskipun untuk seorang lajang? Dengan tegas saya pun menolak karena berusaha berpikir rasional. Lagipula, menurut saya, seorang sarjana sangat layak mendapatkan penghasilan di atas UMR meskipun untuk lulusan baru.
Beberapa waktu kemudian, kerabat tersebut menceritakan kepada saya dengan bangganya bahwa ada salah satu sepupu jauh saya, yang memiliki gelar S2, yang telah menjadi honorer meski dengan gaji kurang layak. Saya hanya bisa menghela napas.
Kalau memilih menjadi seorang profesional, maka dengan pendidikan setinggi itu dia bisa mendapatkan penghasilan yang jauh di atas rata-rata. Namun dari sekian banyak pilihan profesi, ternyata dia memilih menjadi honorer. Apa penyebabnya?
Impian Menjadi PNS
Sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa kebanyakan yang bersedia menjadi honorer dalam jangka waktu lama dengan upah yang begitu minim adalah mereka yang ingin menjadi PNS tanpa harus melewati jalur umum. Selain tidak perlu bersaing dengan sekian banyak orang, kompetensi mereka juga biasanya tidak perlu diuji lagi dengan serangkaian tes, terlebih menjadi honorer pun kebanyakan tanpa saringan.
Hanya saja, kesabaran untuk "mengabdi" memang sangat diperlukan. Karena itu banyak honorer termasuk sepupu jauh saya yang menopang kehidupannya dengan cara lain, mulai dari bergantung pada anggota keluarga lain untuk "sementara", memiliki bisnis sampingan, bekerja di beberapa tempat, dll.
Namun sayangnya, saya tidak memiliki kesabaran untuk "pengabdian" seperti itu, kecuali untuk lembaga non-profit seperti organisasi keagamaan atau yayasan sosial. Itu karena "pengabdian" versi saya adalah sesuatu yang dilakukan tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Contohnya takmir masjid yang setahu saya sangat jarang menuntut ini-itu karena melakukan semuanya dengan penuh kerelaan. Jadi kurang relevan rasanya jika dalam masa "pengabdian" itu saya masih mempertanyakan soal gaji, status atau yang lain. Mending tidak usah sekalian. Menurut saya, daripada nantinya memaksakan kehendak karena pekerjaan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup, lebih baik bekerja di tempat lain yang bersedia menggaji saya dengan nominal yang selayaknya.
Terlebih saya termasuk golongan yang percaya bahwa kompetensi seseorang layak dihargai sebagaimana mestinya. Jadi apabila pihak pemberi kerja tidak sanggup memberikan gaji yang layak, maka silakan cari yang lain. No pay, no work, no question. Dan kalaupun memiliki impian untuk menjadi PNS, maka saya akan melewati jalur yang seharusnya yaitu tes CPNS.
Memang resikonya adalah susah masuk bahkan bisa jadi selamanya tidak bisa jadi PNS. Tapi kalau memang kompetensi saya kurang, apa mau dikata? Saya tidak akan memaksa jika memang ada yang lebih kompeten, toh ini demi kepentingan rakyat banyak dan terbentuknya pemerintahan yang lebih baik. Lagipula kebahagiaan yang hakiki tidak hanya didapat dari bekerja di pemerintahan. Rezeki juga sudah ada yang mengatur, jadi santai saja :D
Asa akan Aparatur Negara yang Kompeten
Sebagai WNI yang pajaknya digunakan untuk membayar gaji PNS, maka saya berharap agar yang mengurusi pemerintahan itu seyogyanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang semestinya. Sama seperti pasien yang pasti tidak mau jika ditangani oleh dokter yang tidak kompeten, saya juga ingin pegawai pemerintah adalah mereka yang memahami tupoksinya dengan baik, dibuktikan dengan kemampuannya untuk dapat lulus dari tes masuk. Jika pengangkatan PNS tidak menggunakan saringan, maka dikhawatirkan pemerintahan tidak dapat berjalan dengan maksimal, sebagaimana hadist Rasulullah SAW yang tercatat dalam Sahih Bukhari berikut ini:
«إِذَا وُسِدَ الأَمْرُ إلى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.”
Kalau memang merasa berkompetensi, terlebih dengan pengalaman puluhan tahun, maka tidak perlu takut ikut seleksi, kan? Apalagi jika sudah yakin bahwa selama ini telah bekerja sesuai dengan kemampuannya.
Bukan berarti tidak menggunakan hati nurani, namun tentu kurang tepat jika seseorang yang memiliki keahlian sebagai sekretaris kemudian dialihkan menjadi arsitek. Semua sudah ada porsinya. Perlu diyakini bahwa meraih kesejahteraan dengan bekerja di luar pemerintahan bukan sesuatu yang mustahil dan masih ada banyak jalan untuk meraih kesuksesan.